about us

Jumat, 07 Oktober 2016

Mengevaluasi Pemuda Hari Ini

Pemuda adalah ujung tombak dari sebuah perubahan, kira-kira seperti itu maksud yang ingin disampaikan sang proklamator Ir. Soekarno melalui pesannya “Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”.

Berbicara soal pemuda tentu akan mengarahkan kita untuk melihat dari sisi gairah yang dimilikinya, Fisik

yang kuat, gagasan yang tajam serta mental keberanian yang membara merupakan hal paling sederhana untuk menjelaskan pemuda. Maka wajar bila panggung sejarah emas perubahan dari zaman kezaman banyak diisi oleh mereka yang disebut pemuda. Dari tinta emas yang tertulis didalam lembaran-lembaran sejarah tersebutlah kemudian berkembang dan menjadi kepercayaan berbagai lapisan masyarakat dan bangsa untuk menitipkan setiap jengkal perubahan pada pemuda.
Jepang dapat bangkit dan menjadi negara maju pasca perang dunia kedua dengan membangun pemuda-pemudinya, pun demikian dengan Singapura yang maju ditangan pemimpin yang membangun pemuda-pemudinya.
Berkaca dari fakta-fakta diatas lalu kemudian melihat pada sejarah bangsa sendiri, tampaknya tak berbeda jauh, Indonesia juga pada perjalanan sejarahnya berhasil bangkit melawan dan melepaskan diri dari penjajahan dikarenakan hadir dan bersatunya pemuda-pemudi.
Itu dahulu, sekali lagi itu hanya cerita dahulu kala. Sebab, bila melihat realitas kekinian tampaknya kita harus mulai bertanya-tanya. Amoral, pertikaian, miskin gagasan serta gerakan adalah kesan yang ditimbulkan para pemuda-pemudi. Padahal, tingkat pendidikan hari ini jauh lebih baik pun demikian dengan  sarana dan prasarananya, ditambah lagi organisasi kepemudaan menjamur dimana-mana dengan visi dan misi yang enak didengar dan dibaca.
Penyimpangan atau disorientasi orang menyebutnya! Dahulu, bila pemuda menampilkan gagasan dan gerakan terlihat jelas idealisme yang melekat pada dirinya, kini gagasan hanyalah bungkus dari pragmatisme. Dahulu, bila pemuda berpolitik, maka politik yang ia lakukan adalah politik nilai, karenanya mereka bersatu meski berbeda dalam banyak hal, termasuk naungan organisasi dan agama. Kini, tak lebih dari perburuan nilai politik yang identik dengan angka-angka mata uang yang membuat  ia sibuk bertikai dengan sesamanya.
Salahkah lembaga pendidikan? Salahkah lembaga-lembaga kepemudaan? Atau salahkah pemerintah? Yang jelas, hingga hari ini penulis masih membaca dengan jelas visi misi semua lembaga diatas dan tidak menemukan sesuatu yang salah. Lantas siapa yang salah? Atau patut dipersalahkan? Entahlah, biarlah ini menjadi bahan renungan kita sesama pemuda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar